A.
Definisi
Hadist
Kata “hadis”
atau al-hadist menurut bahasa,
berarti al-jadid (sesuatu yang baru)
lawan kata dari al-qadim atau (sesuatu
yang lama) kata Hadis juga berarti al-khabar
(berita), yaitu sesuatu yang di percakapkan dan di pindahkan dari seseorang
kepada orang lain. Kata jamaknya, iyalah al-hadis.
Dan menurut jumhur ahli hadis, hadis juga bersinonim
dengan sunnah, dan tidak ada perbedaan dintara keduanya kecuali dari segi makna
etimologi.
Kata
Hadits (dalam teks arab: حديث)
dalam tinjauan kebahasaan (etimologis), memiliki kemiripan arti dengan kata: حدث – يحدث – حدوثا – وحداثة yang dalam penjelasan
Abdul Majid memiliki beberapa makna seperti baru (al-jiddah), lemah
lembut (ath-thariy), dan bermakna berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr
wa al-kalaam). Oleh karenanya dari makna khabr (berita) inilah Hasbi
Al-Shiddiqiy berpendapat bahwa makna itu sering dihubungkan dengan kata tahdits
yang berarti periwayatan atau ikhbar yang berarti penyampaian
berita. Betatapun konten sebuah hadits dimodifikasi, di dalamnya tetap terdapat
unsur ikhbar (mengabarkan) ataupun tahdits (mengucapkan dalam
rangka memberitahukan).
Hadis menurut
salah satu ulama: Misalnya
definisi Hadits yang diungkapkan oleh Muhadditsin (ulama’ hadis) seperti:
Dr.
Mahmud Al-Thahan:
ما
اضيف الى النبي من قول اوفعل او تقرير او صفة
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, yang meliputi
perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat”.
Menurut
kami hadis adalah sesuatu apa yang kita kerjakan baik melalui perbuatan,
perkataan, persetujuan itu semuanya disandarkan kepada Nabi.
B.
Definisi
Sunnah
Sunnah menurut bahasa
banyak artinya diantaranya suatu perjalanan yang diikuti, baik
dinilai di perjalanan baik atau
perjalanan buruk.
Misalnya sabda Nabi saw
مَنْ سَنَّ
فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ
مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ
سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ
عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ
شَىْءٌ
“Barang
siapa yang membuat suatu jalan (sunnah) kebaikan, kemudian diikuti orang maka
baginya pahalanya dan sama dengan pahala orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang membuat suatu jalan
(Sunnah) yang buruk, kemudian diikutinya maka atasnya dosa dan dosa orang yang
mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”. (HR.At-Tirmidzi)
Sunnah baik
seperti yang di contohkan Nabi memang harus diikuti, tetapi sunnah orang-orang
yang tidak bertanggung jawab harus dijauhi. Hadis di atas memberikan motivasi
sunnah yang baik dan mengancam sunnah yang buruk.
Sedangkan
sunnah menurut perspektif terminologi, terdapat beberapa definisi yang di
paparkan oleh para Ulama’ Hadits. Ambillah contoh Ajjaj Al-Khatib maupun Sayyid
Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang menjelaskan sunnah dalam sudut pandang, yakni:
Sunnah menurut sebagian
Muhadditsin: “Segala apa yang dinisbatkan kepada Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
karakter fisik dan etika, ataupun kebiasaan-kebiasaan Nabi saw baik sebelum diangkat menjadi utusan-seperti berhannuts-nya
beliau di gua hira- maupun setelah diangkat menjadi rasul.”
Kesimpulan dari hadis tersebut menurut Muhadditsin, Sayyid Muhammad menjelaskan bahwa
“sunnah itu termasuk segala sesuatu yang dihubungkan kepada para sahabat atau
tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir ataupun sifat-sifatnya”.
C.
Definisi
Khabar
Menurut bahasa khabar diartikan = berita . Dari segi istilah
muhadditsin khabar identik dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang di sandarkan
kepada Nabi (baik secara marfu’, mawquf
dan maqthu’) baik berupa perkataan, Perbuatan, persetujuan, dan sifat.
Diantara ulama memberikan definisi:
“Sesuatu
yang datang dari Nabi saw dan dari yang lain seperti dari para sahabat tabi’in
dan pengikut tabi’in atau orang-orang setelahnya”.
Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat
dalam
mendefiniskan Khabar.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa khabar
adalah sinonim dari kata hadits dan
sebagian lagi tidak demikian. Di antara definisi Khabar yang
beredar di kalangan Muhadditisin digambarkan secara lengkap oleh Ibnu Hajar
sebagaimana sebagai berikut:
وقال
شيخ الإسلام في «شرح النُّخبة»: الخبر عند عُلماءِ الفن مُرادف للحديث, فيُطْلقان على
المَرْفُوع, وعلى الموقوف والمقطُوع.وقيل: الحديث ما جَاء عن النَّبي - صلى الله عليه
وسلم - , والخبر ما جاء عن غيره, ومن ثَمَّ قيل لمن يشتغل بالسُّنة: مُحدِّث, وبالتواريخ
ونحوها: أخباري. وقيل: بينهما عُموم وخصوص مُطلق, فكل حديث خبر, ولا عكس
“Syaikhul Islam (Ibnu Hajar) menuturkan dalam syarh
nuhbah: “khabar menurut pakar istilah merupakan sinonim dari hadits, dimana
keduanya merupakan sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, Sahabat
dan Tabi’in. pendapat lain mengungkapkan, bahwa hadits adalah sesuatu yang
berasal dari Nabi saw sementara khabar berasal dari selain Nabi saw. Maka dari
itu ada yang menyebut bahwa orang yang berkecimpung dalam kajian sunnah disebut
muhaddits, dan orang yang berkecimpung dalam bidang tarikh/sejarah dan
sesamanya disebut akhbariy. Pendapat lain mengatakan dengan konsep umum-khusus,
dalam arti setiap hadits adalah khabar, dan belum tentu setiap khabar itu
hadits”.
Perbedaan dalam mengartikan khabar
tersebut tampaknya masih terlihat dalam literature-literatur hadits hingga
kini. Para pakar kontemporer seperti Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Manna
Khalil Qatthan, hingga Subhi Shalih tetap menguraikan perbedaan definisi khabar
diantara para Ulama’. Hanya saja, Subhi Shalih terlihat lebih memilih konsep
umum-khusus dalam membedakan Khabar dan Hadits. Dalam arti bahwa setiap hadits
itu pasti khabar, dan setiap khabar belum tentu hadits. Karena bisa jadi khabar
itu bukan bersandar pada Rasulullah SAW, akan tetapi bisa jadi mauquf atau
maqtu’. Hal ini mengingat bahwa khabar lebih dominan sebagai
pemberitaan atau pemberitahuan, dari manapun datangnya.
Mayoritas ulama melihat
hadis lebih khusus yang datang dari Nabi, sedangkan khabar sesuatu yang datang
darinya dan dari yang lain, termasuk berita-berita umat dahulu, para Nabi dan
lain-lain.
D.
Definisi
Atsar
Secara etimologi, Atsar dari segi
bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa sesuatu dan berarti pula sesuatu yang dinukil
(dikutip). Misalnya sering terdengar ungkapan bahwa
”ini tafsir bil ma’tsur” yang maksudnya adalah tafsir yang mengadopsi
perkataan-perkataan atau ”bekas-bekas” orang sebelumnya.
Sedangkan atsar menurut istilah, juga
memiliki perbedaan definisi diantaranya adalah apa yang dipaparkan oleh Syaikh
Dahlawi sebagai berikut:
وقد خصص بعضهم الحديث بالمرفوع والموقوف إذ المقطوع يقال له الأثر
وقد يطلق الأثر على المرفوع أيضا كما يقال الأدعية المأثورة لما جاء من الأدعية عن
النبي صلى الله عليه و سلم
والطحاوي سمى كتابه المشتمل على بيان
الأحاديث النبوية وآثار الصحابة بشرح معاني الآثار وقال
السخاوي إن للطبراني كتابا مسمى بتهذيب الآثار مع أنه مخصوص بالمرفوع وما ذكر فيه
من الموقوف فبطريق التبع والتطفل
“terkadang
sebagian ulama’ mengkhususkan istilah hadits hanya untuk sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi saw dan Sahabat, sedangkan sesuatu yang
disandarkan kepada tabi’in disebut Atsar. Terkadang istilah Atsar juga
digunakan untuk menyebut sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw,
seperti misalnya ucapan seseorang bahwa “ini do’a yang ma’tsur”, yang
menunjukkan bahwa itu berasal dari Nabi saw.
Ketika melihat
pendapat semacam ini, maka Mahmud Thahan memetakan definisi Atsar dalam 2 hal,
yakni:
* Atsar
itu sama dengan Hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
*Atsar
itu berbeda dengan hadits, yakni bahwa atsar merupakan sesuatu yang disandarkan
kepada sahabat dan tabi’in yang meliputi ucapan maupun perbuatan.
Selain itu, ada juga yang
menambahkan bahwa Atsar hanya terkhusus pada khabar yang mauquf atau maqtu’.
Istilah atsar bisa digunakan untuk menyebut Hadits jika disertai keterangan
bahwa itu adalah hadits Nabi saw. misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan: “atsar ini
dari Nabi saw”,
maka berarti hal ini adalah hadits.
E. Hadits Qudsi
Secara etimologi kata Qudsiy
merupakan bentuk nisbah dari kata Quds yang
mempunyai arti bersih atau suci. Jikalau Quds berarti Suci, maka ketika
mendapat rangkaian huruf ya’ nisbah menjadi berarti: yang berhubungan
dengan hal yang suci atau disucikan.
قدس –> قدسي=
قدسيّة
Hadits Qudsi merupakan varian lain dari
hadits yang berasal dari Nabi saw. Secara terminologis, pengertian hadits qudsi yang
telah disepakati Muhadditsin adalah bahwa Hadits Qudsi merupakan setiap hal
yang diriwayatkan oleh Nabi saw dari Tuhan Yang Maha Agung. Demikian yang diungkap dalam
Syarh Arba’in Nawawi.
والحديث القدسي: كل ما
رواه النبي صلى الله عليه وسلم عن ربه عزّ وجل
Akan tetapi terdapat perbedaan di
kalangan Muhadditsin terkait lafadz (redaksi) Hadits Qudsi. Perbedaan tersebut
berangkat dari pertanyaan mendasar: ”apakah hadits qudsi itu kalam Allah –dalam
arti makna dan lafadznya dari Allah sebagaimana Al-Qur’an- ataukah makna
(substansi) tersebut diwahyukan oleh Allah, kemudian Nabi saw sendiri yang
memformulasikan redaksinya? Menanggapi pertanyaan ini, para Ulama’ (semoga Allah
merahmati mereka) berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa
seluruh komponen dalam hadits qudsi yang meliputi makna dan lafadz berasal dari
Allah SWT. Karena pada kenyataannya, Nabi saw meriwayatkan
hadits tersebut dengan menyandarkannya kepada Allah SWT seperti sabda beliau إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ. Ini menunjukkan bahwa lafadz maupun makna
Hadits tersebut dari Allah SWT. Apalagi pada kenyataannya Nabi saw adalah
manusia yang paling dapat dipercaya dan kuat riwayatnya. Tidak mungkin beliau
mengungkapkan itu dengan tanpa arti dan maksud. Pendapat kedua seakan
memberikan bantahan terhadap pendapat yang pertama. Para Ulama’ ini menyatakan
bahwa lafadz hadits qudsi merupakan lafadz Nabi saw,
sedangkan maknanya dari Allah SWT. Hal ini dikarenakan oleh beberapa alasan,
yakni:
* Jikalau hadits Qudsi dikatakan bahwa lafadz
dan maknanya dari Allah SWT, maka berarti hadits Qudsi memiliki mata rantai
sanad yang lebih tinggi dari Al-Qur’an. Karena semua tahu bahwa hadits Qudsi
diriwayatkan Nabi saw dari Allah SWT dengan tanpa perantara
Malaikat Jibril. Sementara Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi saw
melalui malaikat Jibril.
* Jikalau hadits Qudsi dikatakan bahwa lafadz dan
maknanya dari Allah SWT, maka akan tidak ada bedanya antara hadits Qudsi dan
Al-Qur-an yang sama-sama Kalam Allah. Padahal Al-Qur’an telah memiliki
kekhususan dan keistimewaan seperti: bernilai ibadah bagi yang membacanya,
harus suci sebelum menyentuhnya, terjaga dari campur tangan manusia dan lain
sebagainya.
Menanggapi hal ini, maka yang diunggulkan adalah pendapat yang kedua yakni
bahwa lafadz hadits Qudsi merupakan lafadz Nabi saw
sementara maknanya berasal dari Allah SWT.
Contoh Hadis
Qudsi misalnya:
وَحَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِى سِنَانٍ
عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ وَأَبِى سَعِيدٍ - رضى الله عنهما - قَالاَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ
إِنَّ الصَّوْمَ لِى وَأَنَا
أَجْزِى بِهِ إِنَّ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَيْنِ إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِىَ
اللَّهَ فَرِحَ. وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ
عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ ». )رواه مسلم(
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad,
beliau bersabda, ”Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Puasa itu untukku, dan Aku
yang akan memberikan ganjarannya, disebabkan seseorang menahan syahwatnya dan
makannya serta minumnya karena-Ku, dan puasa itu adalah perisai, dan bagi orang
yang berpuasa dua kebahagiaan, yaitu kebahagian saat berbuka, dan kebahagiaan
ketika bertemu dengan Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum
disisi Allah, daripada bau minya misk/kesturi”